The Atheist : Story about uncommonly man and his GOD (2011 - 2016)
"Bukit sang Pengampun"
Sambil tertatih-tatih dia berjalan
menyusuri jalur setapak yang dipenuhi tanah merah yang menempel pada tumpukan
batu dan akar, batu granit berwarna abu kehitaman yang berpola hampir sama satu
sama lainnya serta rambatan akar-akar yang pohonnya telah mati ratusan tahun
yang lalu, jalan yang dia pijak tsb menjadi semakin berbahaya untuk dilalui
jika di cuaca ekstrim seperti ini, dan keadaannya pun licin diakibatkan hujan
lebat yang tak kunjung mereda sejak dini hari tadi. Berjalan pun sedikit demi
sedikit, tubuhnya rubuh tak tertahan, berhenti sejenak untuk menangisi perasaan
yang sangat hancur karena “ulah kehidupan”, hati yang sedih itu pun tanpa sadar
telah membuat pipinya basah dilalui oleh airmata bercampur dengan tawarnya air
hujan.
Dia pun
bangkit dan kembali berjalan meski terseok-seok sambil tangannya meraba-rapa
apapun yang bisa digenggam, menaiki bukit tertinggi Sang Pengampun sambil
menjejakan kaki di jalur setapak yang tampak sukar jika dilewati saat itu tapi
tidak dia memperdulikannya. Dengan hanya memakai baju kain berwarna hitam yang
di-sorban-kan serta sudah basah tak karuan, sambil bertelanjang kaki (sandal
terumpah yang tadi dipakainya telah putus sebelah sehingga yang satunya pun
dibuangnya, jauh dibawah sebelum dia mulai menaiki bukit), dia
menyibak-nyibakan rambut panjang beruban-nya yang basah akibat hujan, sedikit
lega karena akhirnya perjuangan pun telah selesai dan beberapa waktu kemudian
sampailah dia di puncak altar Sang Pengampun. Tanah luas yang tandus dibalut
oleh tanah merah yang mengkilap laksana darah, hanya ada rumput-rumput kering
yang basah akibat hujan, tumpukan batu-batu di sudut bukit yang entah siapa
yang menumpuknya juga darimana asalnya. Hanya ada satu pohon pula yang tertanam
disitu, pohon beringin raksasa yang mati dan mungkin ratusan tahun
umurnya.
Pemandangan janggal yang luar biasa aneh. Kencangnya hembusan angin di puncak
pun seakan tak kenal belas kasihan, menusuk kulit siapapun yang berada disitu.
Suara angin yang seakan berbisik ke telinga bagaikan suara jiwa alam yang
tersiksa. Membuat merinding bulu kuduk. Rasa dingin yang menusuk-nusuk kulitnya
sudah tidak dia rasakan, rasa haus serta rasa capek yang luar biasa pun sudah
tidak dihiraukannya. Mula-mula, dia berjalan pelan ke tengah pusat bukit tinggi
itu, lalu mulai menengadah seolah mencari sesuatu diatas, mencari “harapan”
terakhirnya. Hanya harapan itu yang kelak bisa membuat hidupnya lebih baik lagi
dari sekarang. Yang dia inginkan hanya kembali bahagia, hanya itu. Tapi nihil,
tidak ada sesuatu tanda apapun, yang ada hanyalah awan gelap yang menyelimuti
langit. Karena sedang terjadi hujan dashyat yang sangat lebat, secercah cahaya
pun tidak bisa menembus awan yang tebal luar biasa itu. Dia pun terdiam untuk
sesaat. Sambil tetap menengadah ke langit, dia pun menutup matanya secara
perlahan sambil menenangkan hatinya yang sedang dipenuhi kekalutan juga
kesengsaraan. Lalu, kembali menangis dan mulai hilang harapan.
Dan,
dengan dipenuhi oleh perasaan putus asa yang amat sangat, dia pun mulai
berlutut dan mulai berbicara (kembali) dengan Tuhannya, Tuhan yang sudah dia
campakan bertahun-tahun silam…sambil mengangkat kedua tangannya keatas, dan
dengan pelupuk mata yang dipenuhi oleh airmata yang tak kunjung berhenti, dia
pun mulai berkata sambil sedikit berteriak, “Tuhan, jika Engkau memang ada,
bisakah Engkau menunjukan mukjizat kepadaku? Bisakah? Tolong, kembalikan
waktuku 10 tahun ke belakang, akan kutata kembali hidupku, tak akan pernah
kusia-siakan lagi kesempatan yang telah Engkau berikan kepadaku, aku sudah
tidak kuat dengan perasaan yang sangat menyesakan dada ini, aku hanya ingin
bahagia kembali…Tuhaann!! (sambil mengerang menahan sesak di dadanya) dan jika
Kau kabulkan 1 permintaaanku ini aku berjanji…aku berjanji akan sujud, berdoa,
dan kembali kepada-Mu!” Hening. Tidak ada apapun yang terjadi. Hanya suara
kilat yang saling menyambar dengan dibarengi suara guntur yang terdengar, yang
dari tadi menemani hujan lebat terhebat terjadi kala itu. Dia lalu bersujud
sambil kembali menangis, sesenggukan makin lama semakin keras suaranya. Hujan
pun perlahan mereda. Sunyi untuk sesaat. Awan hitam yang tadi bergulung di
langit pun sedikit demi sedikit sirna. Cahaya matahari pun mulai merekah
menyinari tanah merah yang basah di bawahnya. Menyinari punggung basahnya yang
masih dalam keadaan bersujud. Terasa hangat.
Tak
lama kemudian, tanah pun mulai bergetar. Dia pun tersadar. Berguncang makin
lama makin kencang, batu dan akar yang mengikat tanah merah di bukit Sang
Pengampun itu pun tak kuat lagi saling mengunci, sehingga longsor yang dashyat
pun tak terelakan lagi. Dia yang mulai panik pun segera bangkit dari sujudnya,
mulai berlari, & berpegangan kepada pohon, pohon mati yang hanya ada
satu-satunya tertanam disitu. Saking panik disertai rasa takut yang amat
sangat, di pun mulai memejamkan matanya sambil mengucapkan do’a-do’a yang dia
ingat. Suara do’a yang tak terdengar karena tertimpa oleh suara gemuruh tanah
yang memekakan telinga. Kokohnya bukit tinggi itu pun kalah oleh kuatnya gempa
maha dashyat tsb, bagaikan diguncang-guncangkan oleh tangan Tuhan yang maha
besar. Dia pun tak bisa menghindarinya untuk kejadian yang satu ini. Semakin
lama semakin kencang saja. Tanah pun terbelah menjadi beberapa bagian dan mulai
menghambur kebawah secepat gaya gravitasi. Dia pun berteriak memangil-manggil
nama Tuhan, “Tuhaannn, toloonnggg akkuu…!!!”
Guncangan terdashyat yang belum pernah dia alami selama hidupnya itu pun telah
berlalu, bukit tinggi Sang Pengampun yang kokoh itu pun roboh, rata bercampur
dengan tanah. Batu granit kehitaman serta akar-akar pohon mati yang dulu
terikat satu sama lain dengan tanah merah itu pun sekarang polos, entah kemana
tanah-tanah merah itu karena menghilang dengan sendirinya. Hilang ditelan bumi.
Matahari yang menyaksikan semua itu seakan menjadi saksi bisu.
Binatang-binatang, pohon-pohon, suara air terjun, batu dan daun, bahkan suara
angin semilir di sekitar kejadian itu pun seakan membisu, seakan tidak peduli
dengan kekuatan alam yang baru saja terjadi padalah dalam hati mereka ketakutan
setengah mati akan kemurkaan amarah Tuhan mereka.
Sementara dia, dia terkubur di
bawah tumpukan batu granit dan akar-akar sisa bukit tinggi itu, untuk
selamanya. Darah segar mengalir dari dahi, mulut, serta telinganya. Matanya
yang masih basah oleh airmata pun melotot keatas, kearah harapan yang tadi dia
cari juga diidam-idamkannya. Jasadnya tertindih sambil tangannya memeluk pohon
beringin raksasa mati yang tadi dia yakini akan menyelamatkannya. Tragis.
Komentar
Posting Komentar